Selasa, 26 Juli 2011

Peningkatan Hasil Belajar Matematika siswa tentang pecahan dan urutannya Melalui Pendekatan RME (Realistic Mathematics Education) Pada Siswa Kelas IV

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini yang masih terus dibicarakan dalam masalah mutu pendidikan adalah prestasi belajar siswa dalam suatu bidang ilmu tertentu. Menyadari hal tersebut, maka pemerintah bersama para ahli pendidikan, berusaha untuk lebih meningkatkan mutu pendidikan. Upaya pembaharuan pendidikan telah banyak dilakukan oleh pemerintah, diantaranya melalui seminar, lokakarya dan pelatihan-pelatihan dalam hal pemantapan materi pelajaran serta metode pembelajaran untuk bidang studi tertentu misalnya IPA, Matematika dan lain-lain. Sudah banyak usaha yang dilakukan oleh Indonesia untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan matematika di sekolah, namun belum menampakkan hasil yang memuaskan, baik ditinjau dari proses pembelajarannya maupun dari hasil prestasi belajar siswanya (Yuwono,2001 : 2).
Dari beberapa mata pelajaran yang di sajikan pada Sekolah Dasar, matematika adalah salah satu mata pelajaran yang menjadi kebutuhan sistem dalam melatih penalarannya. Melalui pengajaran matematika diharapkan akan menambah kemampuan, mengembangkan ketrampilan dan aplikasinya. Selain itu, matematika merupakan sarana berpikir dalam menentukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan matematika merupakan metode berpikir logis sistematis dan konsisten. Oleh karena itu semua masalah kehidupan yang membutuhkan pemecahan secara cermat dan teliti selalu harus berpaling pada matematika.
Dalam pembelajaran matematika sering kali didapatkan bahwa siswa masih sukar menerima dan mempelajari matematika bahkan banyak yang mengeluh bahwa pelajaran matematika membosankan, tidak menarik dan susah untuk dipahami. Hal ini terbukti dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Djaali dalam Surdika (1998:2) yang menyimpulkan bahwa prestasi belajar matematika di sekolah dasar relatif rendah jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain.
Berbicara masalah rendahnya prestasi belajar siswa, khususnya prestasi belajar matematika dapat disebabkan oleh faktor yang berasal dari dalam diri siswa dan faktor yang berasal dari luar diri siswa (Usman, 1993:10).
Dalam proses belajar mengajar di sekolah, model pembelajaran yang digunakan guru merupakan salah satu faktor dari luar diri siswa yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Penggunaan pendekatan pembelajaran yang cenderung membuat siswa pasif dalam proses belajar mengajar, dapat membuat siswa merasa bosan sehingga tidak tertarik lagi untuk mengikuti pelajaran tersebut, terlebih lagi pelajaran matematika yang menurut Hudoyo (1988:3) berkaitan dengan konsep-konsep abstrak, sehingga pemahamannya membutuhkan daya nalar yang tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan ketekunan, keuletan, perhatian, dan motivasi yang tinggi untuk memahami materi pelajaran matematika.
Permasalahan dalam proses belajar mengajar juga terjadi di SDN 011 Samarinda Utara sebagaimana hasil wawancara peneliti dengan guru kelas IV SDN 011 Samarinda Utara bahwa penguasaan siswa terhadap pelajaran matematika masih tergolong rendah, menurut keterangan yang diperoleh dari guru tersebut rata-rata nilai matematika siswa kelas IV SDN 011 Samarinda Utara pada semester II tahun 2006 yaitu 5,7 dan nilai rata-rata tes awal yaitu 5,93 menunjukkan bahwa prestasi siswa matematika khususnya pada pokok bahasan pengenalan pecahan masih tergolong rendah karena masih dibawah standar minimal 6,0 (Anonim, 2004:22).
Pada umumnya proses pembelajaran yang digunakan adalah dengan menggunakan model pembelajaran konvensional yakni ceramah, tanya jawab, pemberian tugas dan pembelajarannya didominasi oleh guru dan sedikit sekali melibatkan siswa. Sejalan dengan itu Yuwono (2001:2) mengemukakan bahwa pengajaran matematika secra konvensional mengakibatkan siswa bekerja secara prosedural dan memahami matematika tanpa penalaran, selain itu interaksi antara siswa selama proses belajar mengajar sangat kurang.
Pada pembelajaran matematika di SDN 011 Samarinda Utara, guru kurang memberikan peluang kepada siswa untuk mengkonstruksi sendiri konsep-konsep matematika, siswa hanya menyalin apa yang dikerjakan oleh guru. Selain itu siswa tidak diberikan kesempatan untuk mengemukakan ide dan mengkonstruksi sendri dalam menjawab soal latihan yang diberikan oleh guru.
Masalah yang telah dikemukakan di atas, guru SDN 011 Samarinda Utara perlu melakukan perbaikan proses pengajaran. Salah satunya dengan menerapkan pendekatan pembelajaran yang menekankan pada keaktifan siswa untuk mengembangkan potensi secara maksimal melalui penelitian tindakan kelas. Pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan oleh guru dalam mengajarkan matematika adalah pendekatan RME (Realistic Mathematic Education), karena pendekatan pembelajaran ini dapat mendorong keaktifan, membangkitkan minat dan kreativitas belajar siswa agar dapat meningkatkan hasil belajarnya.
Pendekatan RME adalah merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang landasan filosofinya sejalan dengan falsafah konstruktivis yang menyebutkan bahwa pengetahuan itu adalah konstruksi dari seseorang yang sedang belajar (Marpaung, 2001:3).
Dalam hal ini pembelajaran dengan pendekatan RME siswa didorong untuk aktif bekerja bahkan diharapkan untuk mengkonstruksi atau membangun sendiri konsep-konsep matematika, dengan demikian RME berpotensi untuk meningkatkan prestasi belajar matematika siswa SDN 011 Samarinda Utara.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penulis mencoba melakukan penelitian tindakan kelas yang berjudul: “Peningkatan Hasil Belajar Matematika siswa tentang pecahan dan urutannya Melalui Pendekatan RME (Realistic Mathematics Education) Pada Siswa Kelas IV SDN 011 Samarinda Utara ”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana meningkatkan hasil belajar matematika siswa tentang pecahan dan urutannya melalui pendekatan RME (Realistic Mathematics Education) di kelas IV SDN 011 Samarinda Utara?”
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah “Untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa tentang pecahan dan urutannya melalui pendekatan RME (Realistic Mathematics Education) di kelas IV SDN 011 Samarinda Utara”.
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat bermanfaat:
1. Bagi guru: dapat memperbaiki dan meningkatkan pembelajaran matematika di kelas sehingga permasalahan yang dihadapi oleh siswa maupun oleh guru dapat diminimalkan.
2. Bagi siswa: dapat meningkatkan prestasi belajar matematikanya, khususnya pada pokok bahasan pecahan.
3. Bagi sekolah: hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan yang baik bagi sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembelajaran Matematika
1. Pengertian Belajar
Slameto (1988: 2), mengemukakan definisi belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksinya dengan lingkungannya.
Definisi lain dikemukakan oleh Winkel (1984: 136) bahwa belajar adalah suatu aktifitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi dengan lingkungan yang menghasilkan pengetahuan-pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap serta perubahan itu bersifat relative konstan dan berbekas.
Menurut Hamalik (2001: 27) belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman. Selanjutnya Usman (1993: 4) mengemukakan bahwa belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya. Pendapat lain dikemukakan oleh Sudjana (1991: 5) bahwa belajar adalah suatu perubahan yang relatif permanen dalam suatu kecenderungan tingkah laku sebagai hasil dari praktek atau latihan.
Belajar dianggap sebagai proses dan pengalaman dan latihan. Higgard dan Sanjaya (2007 : 53) mengatakan bahwa belajar adalah proses perubahan melalui kegiatan atau prosedur, baik latihan di dalam laboratorium maupun di lingkungan alamiah. Belajar bukanlah sekedar mengumpulkan pengetahuan. Sehingga menyebabkan munculnya perubahan perilaku.
Berdasarkan beberapa definisi belajar di atas maka dapat dirumuskan definisi belajar yaitu proses perubahan tingkah laku yang dialami oleh individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Perubahan yang terjadi dapat berupa perubahan-perubahan dalam kebiasaan (habit), kecakapan-kecakapan (skill), atau dalam ketiga aspek yakni pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan dasar (Psikomotor).
2. Hasil Belajar Matematika
Amirin dan Samsu Irawan (2000 43), mengatakan hasil belajar adalah kemajuan yang diperoleh seseorang dalam segala hal akibat dan belajar. Seseorang yang mempelajani suatu melalui proses pembelajaran telah mernperoleh hasil dan apa yang telah dipelajarinya, hasil maksimal yang diperoleh inilah yang dikatakan hasil belajar.
Sudjana (2001 : 82), menjelaskan hasil belajar adalah kemampuan — kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajamya. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2002 : 95), hasil belajar merupakan hasil dan suatu intruksi tindak belajar dan tindak mengajar.
Hasil belajar menentukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan yang diaplikasikan dalam bentuk penilaian dalam rangka memberikan pertimbangan apakah tujuan pendidikan tersebut tercapai. Penilaian hasil belajar tersebut dilakukan terhadap proses belajar mengajar untuk mengetahui tercapainya tidaknya tujuan pengajaran dalam hal penguasaan bahan pelajaran oleh siswa, selain itu penilaian tersebut dilakukan untuk mengetahui keefektifan proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru. Dengan kata lain rendahnya hasil belajar yang dicapai siswa tidak hanya disebabkan oleh kurang berhasilnya guru mengajar.
Sujana (2001), mengatakan hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.
Dalam sistem pendidikan rasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikulum maupun tujuan intruksional, menggunakan kiasifikasi hasil belajar matematika dan Bloom (dalam Sujana, 2001) secara garis besar menjadi tiga ranah yaitu:
1. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dan enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sentesis, dan evaluasi.
2. Ranah efektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dan lima aspek yakni, penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi dan internalisasi.
3. Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak yang terdiri dan enam aspek yakni, gerakan refleksi, ketepatan, gerakan keterampilan kompleks dan gerakan ekspresif dan interpretatif.
Dimyanti dan Mujiono (2002), mengatakan hasil belajar merupakan hasil dari suatu intraksi tindak belajar dan tindak mengajar.
Dari beberapa pendapat diatas maka hasil belajar dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti suatu pembelajaran matematika.
Matematika merupakan pelajaran yang memerlukan pemusatan pikiran untuk mengingat dan mengenal kembali semua aturan-aturan yang ada dan harus dipenuhi untuk menguasai materi yang dipelajari (Hamzah, 2002 : 60).
Selanjutnya Djaali mendefinisikan matematika bahwa matematika sebagai ilmu pengetahuan tentang ruang dan bilangan, ia sering dilukiskan sebagai suatu kumpulan sistem matematika yang mempunyai struktur tersendiri dan bersifat deduktif. Matematika berkenaan dengan ide-ide, struktur dan hubungannya yang teratur menurut aturan yang logik (Anonim, 1991 : 59).
Belajar matematika merupakan belajar konsep dan struktur yang terdapat dalam bahan-bahan yang sedang dipelajari, serta mencari hubungan diantara konsep dan struktur tersebut (Karso, 1994: 40).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa proses belajar mengajar matematika merupakan suatu proses belajar mengajar yang melibatkan guru dan siswa, dimana perubahan tingkah laku siswa diarahkan pada peningkatan kemampuan dalam mempelajari matematika, sedangkan guru dalam mengajar harus pandai mencari pendekatan pembelajaran yang akan membantu siswa alam kegiatan belajarnya.
Selanjutnya, dalam proses belajar mengajar matematika, pengajar seyogyanya memahami teori-teori tentang belajar dan penguasaan materi pengajaran harus dipenuhi oleh seorang pengajar sehingga belajar matematika bermakna bagi siswa. Proses belajar mengajar matematika akan terlihat bila terjadi interaksi dua arah antara pengajar/guru dan peserta didik/siswa.
3. Ketuntasan Belajar Matematika
Melalui belajar tuntas ini, siswa yang sudah menguasai materi pelajaran perlu diberikan kegiatan pembelajaran pengayaan (enrichment), sedangkan kepada siswa yang belum menguasai materi pelajaran perlu diberikan kegiatan.
Pembelajaran perbaikan (remedial). sehingga sebagian besar atau seluruh siswa dapat mencapai ketuntasan belajar yang diharapkan (Muhtar dan Rusmini, 2003).
Pembelajaran remedial merupakan suatu bentuk pembelajaran yang bersifat mengobati, menyembuhkan atau membetulkan pembelajaran dan membuatnya menjadi lebih baik dalam mencapai tujuan pembelajaran yang optimal, terutama di peruntukkan bagi para siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar atau belum dapat mencapai ketuntasan belajar. Pembelajaran pengayaan adalah pembelajaran yang bersifat memperluas. memperdalam dan menunjang satuan pelajaran dan di peruntukkan btii siswa yang telah tuntas belajar. Melalui pembelajaran remedial dan pengayaan mi, perhatian guru tidak hanya tertuju pada pemberian bantuan dan bimbingan kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar, tetapi juga ditujukan kepada siswa yang memiliki kemampuan belajar yang lebih tinggi dan pada yang dituntut oleh program standar, agar kelebihan yang mereka miliki tidak sia-sia (Muktar dan Rusmini, 2003).
Untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan pembelajaran dan suatu unit pelajaran tertentu tersebut dapat di ukur melalui tes hasil belajar siswa.
Dan pendapat di atas dapat disimpulkan, ketuntasan belajar matematika adalah tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan pembelajaran.

B. Pendekatan RME (Realistic Mathematics Education)
1. Pengertian RME
RME diperkenalkan oleh Freudenthal di Belanda pada tahun 1973. RME sudah melalui proses ujicoba dan penelitian lebih dari 25 tahun, implementasinya telah terbukti berhasil merangsang penalaran an kegiatan berpikir siswa.
RME adalah suatu pendekatan dimana matematika dipandang sebagai suatu kegiatan manusia (Freudental, 1973, Treffers, 1987, De moor, 1994 dalam Ahmad Fauzan 2001:1)
Kata realistik diambil dari salah satu diantara empat pendekatan dalam pendidikan matematika. Menurut klasifikasi Treffers yaitu mekanistik, empirik, strukturalistik dan realistik. (Marpaung, 2001:2 ). Mekanistik artinya cara mengerjakan suatu masalah secara teratur, empirik artinya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, strukturalistik artinya cara menyusun suatu konsep atau unsur-unsur dengan pola tertentu dan realistik artinya bersifat nyata.
Pada pendidikan matematika dua komponen matematisi yaitu matematisi horizontal dan matematisi vertikal. Perbedaan dari keempat pendekatan itu ditentukan sejauh mana mereka memuat/menggunakan kedua komponen itu. Pendekatan strukturalistik lebih menekankan struktur dalam suatu cabang matematika yaitu mempelajari matematika alam arah vertikal. Pendekatan realistik selain mempelajari dalam arah vertikal juga mempelajari dalam arah horizontal yaitu hubungan antara konsep-konsep dalam beberapa cabang matematika. Pendekatan mekanistik tidak memuat kedua komponen matematisi itu, sedangkan pendekatan empirik hanya memuat komponen horizontal saja.
Pembelajaran Matematika Realistik di sekolah dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan lingkungan siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah yang nyata atau yang telah dikuasai atau dapat dibayangkan dengan baik oleh siswa dan digunakan sebagai sumber munculnya konsep atau pengertian-pengertian matematika yang semakin meningkat. Jadi pembelajaran tidak mulai dari definisi, teorema atau sifat-sifat dan selanjutnya diikuti dengan contoh-contoh, namun sifat, definisi, teorema itu diharapkan “seolah-olah ditemukan kembali” oleh siswa (Soedjadi, 2001: 2).
Jelas bahwa dalam pembelajaran matematika realistik siswa ditantang untuk aktif bekerja bahkan diharapkan agar dapat mengkonstruksi atau membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya.
Menurut Gravermeijer (dalam Asikin, 2001: 4), menjelaskan bahwa ide utama dari RME adalah siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa. Usaha untuk membangun kembali ide dan konsep matematika tersebut melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan realistik.
Realistik alam pengertian bahwa tidak hanya situasi yang ada di dunia nyata, tetapi juga dengan masalah yang dapat mereka bayangkan (Heuvel, dalam Asikin, 2001: 4).
2. Ciri Pendekatan RME
Dalam pendidikan matematika dua komponen matematisi yaitu matematisi horizontal dan matematisi vertikal. Matematisi horizontal menunjuk pada proses transformasi masalah yang dinyatakan dalam bahasa sehari-hari kebahasa matematika. Sedangkan matematisi vertikal adalah proses dalam matematika itu sendiri. Pendekatan realistik selain alam arah vertikal juga mempelajari dalam arah horizontal sehingga pada pendekatan realistik langkah-langkah memahami suatu masalah dengan melalui teranslasi timbal balik dari bentuk-bentuk representasi enaktif, ikonok dan simbolik, serta pengertian dalam matematika (Marpaung, 2001: 3).
Menurut Yuwono (2001 : 3), pembelajaran yang berorientasikan pada RME dapat dicirikan oleh: (a) Pemberian perhatian yang besar pada “reinvention” yakni siswa diharapkan dapat membangun konsep dan struktur matematika bermula dari intuisi mereka masing-masing; (b). Pengenalan konsep dan abstraksi melalui hal-hal yang konkrit atau dari sekitar siswa; (c). Selama proses pematematikaan siswa mengkonstruksi gagasannya sendiri, tidak perlu sama antara siswa yang satu engan siswa yang lainnya; (d). Hasil pemikiran siswa di konfrontir dengan hasil pemikiran siswa yang lainnya.
Ciri lain dari RME yaitu (1) Matematika adalah kegiatan aktivitas manusia. (2) Belajar matematika merupakan proses belajar melalui “reinvention”.. Dengan perkataan lain landasan filosofis matematika dekat dengan filsafat konstruktivisme yang menyebutkan bahwa pengetahuan itu adalah konstruksi dari seorang yang sedang belajar (Suparno, 1997: 5).
Ini berarti pendekatan RME dilandasi oleh pandangan bahwa siswa harus aktif tidak boleh pasif . Siswa harus aktif mengkonstruksi pengetahuan mereka.
Guru berperan sebagai fasilitator artinya siswa harus didorong dan diberi keluasan untuk mengekspresikan jalan pikirannya, menyelesaikan masalah menurut idenya sendiri, mengkomunikasikannya pada saat belajar dari ide teman-temannya (Marpaung, 2001: 3).
Menurut Fauzan, (2001: 2), pembelajaran yang menggunakan pendekatan RME dicirikan oleh beberapa hal antara lain:
1) Matematika dipandang sebagai kegiatan manusia sehari-hari, sehingga dapat memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.(contextual problems) merupakan bagian yang esensial.
2) Belajar dengan matematika berarti bekerja dengan matematika.
3) Siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep-konsep matematika dibawa bimbingan orang dewasa (guru).
4) Proses belajar mengajar berlangsung secara interaktif dan siswa menjadi fokus dari semua aktifitas di kelas.
5) Aktivitas yang dilakukan meliputi; menemukan masalah-masalah kontekstual (looking for problems), memecahkan masalah (solving problems) dan mengorganisir bahan belajar.
3. Tahapan RME (Realistic Mathematics Education)
Fauzi (2002:) mengemukakan langkah-langkah di dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan RME, sebagai berikut:
1) Langkah pertama: memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut.
2) Langkah kedua: menjelaskan masalah kontekstual, yaitu jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami.
3) Langkah ketiga: menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri.
4) Langkah keempat: membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah secara berkelompok. Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam kaitannya dengan interaksi siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran.
5) Langkah kelima: menyimpulkan, yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur.
Soedjadi (2001:3) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika realistik juga diperlukan upaya “mengaktifkan siswa”. Upaya itu dapat diwujudkan dengan cara (1) mengoptimalkan keikutsertaan unsur-unsur proses belajar mengajar, dan (2) mengoptimalkan keikutsertaan seluruh sense peserta didik. Salah satu kemungkinan adalah dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk dapat menemukan atau mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang akan dikuasainya. Salah satu upaya guru untuk merealisasikan pernyataan di atas adalah menetapkan langkah-langkah pembelajaran yang sesuai dengan prinsip dan karakteristik RME.
Berdasarkan prinsip dan karakteristik RME serta memperhatikan berbagai pendapat tentang proses pembelajaran matematika dengan pendekatan RME di atas, maka disusun langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan RME sebagai berikut:

Langkah 1. Memahami masalah kontekstual
Guru memberikan masalah kontekstual sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari siswa. Kemudian meminta siswa untuk memahami masalah yang diberikan tersebut. Jika terdapat hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa, guru memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian yang belum dipahami siswa.
Karakteristik RME yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak dalam pembelajaran, dan karakteristik keempat yaitu interaksi.
Langkah 2. Menyelesaikan masalah kontekstual
Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi pemecahan masalah. Selanjutnya siswa bekerja menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan yang lainnya. Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas, sehingga siswa dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut. Karakteristik RME yang muncul pada langkah ini yaitu karakteristik kedua menggunakan model.
Langkah 3. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Guru menyediakan waktu dan kesempatan pada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka secara berkelompok, selanjutnya membandingkan dan mendiskusikan pada diskusi kelas. Pada tahap ini, dapat digunakan siswa untuk berani mengemukakan pendapatnya meskipun pendapat tersebut berbeda dengan lainnya.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah karakteristik ketiga yaitu menggunakan kontribusi siswa (students constribution) dan karakteristik keempat yaitu terdapat interaksi (interactivity) antara siswa dengan siswa lainnya.
Langkah 4. Menyimpulkan
Berdasarkan hasil diskusi kelas, guru memberi kesempatan pada siswa untuk menarik kesimpulan suatu konsep atau prosedur yang terkait dengan masalah realistik yang diselesaikan.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah adanya interaksi (interactivity) antara siswa dengan guru (pembimbing).
4. Pembelajaran dengan Menerapkan Pendekatan RME
Pendekatan realistik selain mempelajari dalam arah vertikal juga mempelajari dalam arah horizontal. Menurut De Lenge dalam Yuwono (2001: 3 – 4), dalam arah horizontal meliputi pembuatan skema, merumuskan dan menggambarkan masalah dalam cara yang berbeda, menemukan hubungan-hubungan dan keterkaitan, mengingat aspek-aspek yang serupa dalam masalah yang berbeda, merumuskan masalah nyata dalam model matematika yang telah dikenal. Sedangkan aktivitas yang merupakan pematematikaan vertikal mengharuskan dan memperbaiki model, menggunakan model yang berbeda, memadukan dan mengkombinasikan beberapa model, membuktikan keteraturan, merumuskan konsep matematika yang baru dan perapatan.
Menurut De Lange (1998) dan Van den Heuvel – Panhuizen (1998) dalam Yuwono (2001: 3) mengungkapkan bahwa RME adalah pembelajaran matematika yang mengacu pada konstruktivis sosial dan dikhususkan pada pendidikan matematika.
Dalam pandangan RME atau PMR (Pengajaran Matematika Realistik), pengembangan suatu matematika dimulai oleh siswa secara mandiri berupa kegiatan eksplorasi sehingga memberikan peluang pada siswa untuk berkreasi mengembangkan pemikirannya. Pengembangan konsep berawal dari intuisi siswa dan menggunakan strateginya masing-masing dalam memperoleh suatu konsep.
Guru diharapkan tidak tergesa-gesa untuk menyampaikan pemikirannya kepada siswa tentang suatu hal yang dibahas. Bila ada suatu materi dirasa sulit, siswa dapat membentuk kelompok kecil, sehingga terjadi negosiasi antara siswa dalam mendiskusikan materi yang sulit tersebut. Jadi peranan guru hanya sebagai fasilitator atau pendamping yang akan meluruskan arah pemikiran siswa, sekiranya jalan pemikiran siswa jauh melenceng dari pokok bahasan yang dipelajari.
Dalam pembelajaran matematika realistik, bentuk dominasi guru perlu sekali dikurangi, antara lain dengan menunjukkan kebenaran cara-cara yang digunakan siswa. Siswa yang menggunakan cara sendiri dan benar perlu dihargai, mungkin dengan memberitahukannya atau mendiskusikannya kepada seluruh kelas. Dengan memperhatikan fenomena yang ada di dalam kelas akan terbentuk proses pembelajaran matematika yang tidak berorientasi kepada guru tetapi beralih pada pembelajaran matematika yang berorientasi kepada siswa bahkan berorientasi kepada masalah (Soedjadi, 2001: 3).
Menurut Marpaung (2001: 3 – 4) Pendekatan RME bertolak dari masalah-masalah yang kontekstual, siswa aktif, guru berperan sebagai fasilitator, anak bebas mengeluarkan idenya, siswa sharing ide-idenya artinya siswa bebas mengkomunikasikan ide-idenya satu sama lain, guru membandingkan ide-ide itu dan membimbing mereka untuk mengambil keputusan tentang ide mana yang lebih baik buat mereka.
Dalam mendesain suatu model pembelajaran berdasarkan pendekatan realistik, model tersebut harus merepresentasikan karakteristik RME baik pada tujuan, materi, metode dan evaluasi. (Asikin, 2001 : 5).Dalam pembelajaran melalui pendekatan realistik dapat juga digunakan metode ceramah tetapi tidak digunakan secara terus menerus. Selain itu pula dapat diselingi dengan metode pemecahan masalah, metode diskusi, belajar kelompok, belajar individual cooperative learning, siswa menjelaskan kepada temannya, siswa yang membuat siswa dan meminta temannya yang mengerjakan lalu rotasi (Marpaung, 2001: 10)
Dalam pembelajaran matematika realistik, kegiatan inti diawali dengan masalah kontekstual, siswa aktif, siswa dapat mengeluarkan ide-idenya, siswa mendiskusikan dan membandingkan jawabannya dengan temannya. Dimana guru memfasilitasi diskusi dengan teman sebangkunya dan mengarahkan siswa untuk memilih suatu jawaban yang benar. Selanjutnya guru dapat meminta beberapa siswa untuk mengungkapkan jawabannya. Melalui diskusi kelas jawaban siswa dibahas/dibandingkan. Dan guru membantu menganalisa jawaban-jawaban siswa. Jawaban siswa mungkin salah semua, mungkin benar semua atau sebagian benar sebagian salah. Jika jawaban benar maka guru hanya menegaskan jawaban tersebut. Jika jawaban salah guru secara tidak langsung memberitahu letak kesalahan siswa yaitu dengan mengajukan pertanyaan kepada siswa yang menjawab soal atau siswa lainnya. Selanjutnya siswa dapat memperbaiki jawabannya dari hasil diskusi, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan.
Adapun sintaks implementasi matematika realistik adalah:






Aktivitas Guru Aktivitas siswa
 Guru memberikan siswa masalah kontekstual.
 Guru merespon secara positif jawaban siswa. Siswa diberikan kesempatan untuk memikirkan strategi siswa yang paling
 Guru mengarahkan siswa pada beberapa masalah kontekstual dan selanjutnya meminta siswa mengerjakan masalah dengan menggunakan pengalaman mereka.
 Guru mengelilingi siswa sambil memberikan bantuan seperlunya
 Guru mengenalkan istilah konsep.
 Guru memberikan tugas dirumah yaitu mengerjakan soal atau membuat masalah cerita beserta jawabannya yang sesuai dengan matematika formal.  Siswa secara sendiri atau kelompok kecil mengerjakan masalah dengan strategi-strategi informal.
 Siswa secara sendiri-sendiri atau kelompok menyelesaikan masalah tersebut.
 Beberapa siswa mengerjakan di papan tulis. Melalui diskusi kelas, jawaban siswa dikonfrontasikan.
 Siswa merumuskan bentuk matematika formal.
 Siswa mengerjakan tugas rumah dan menyerahkannya kepada guru.
5. Kelebihan dan kesulitan implementasi RME
Sebagaimana setiap pendekatan, strategi maupun metode pembelajaran, di satu sisi memiliki berbagai kelebihan, namun juga memiliki kesulitan. Demikian halnya dengan RME.
Kelebihan pembelajaran matematika realistic, Menurut Suwarsono (2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari pembelajaran matematika realistik, yaitu:
1) Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia.
2) Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
3) Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu dengan orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian masalah tersebut.
4) Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.
Kesulitan dalam implementasi pembelajaran matematika realistic, Adanya persyaratan-persyaratan tertentu agar kelebihan RME dapat muncul justru menimbulkan kesulitan tersendiri dalam menerapkannya. Kesulitan-kesulitan tersebut, yaitu:
1) Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal atau masalah kontekstual, sedang perubahan itu merupakan syarat untuk dapat diterapkannya RME.
2) Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.
3) Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.
4) Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.
C. Pengertian Pecahan
Pecahan adalah bilangan yang menggambarkan bagian dari suatu keseluruhan, bagian dari suatu daerah, bagian dari suatu benda, atau bagian dari suatu himpunan (ST.Negoro, B.Harahap, 1998: 260). Sejalan dengan pendapat tersebut, Sunardi dan Heryanto (1997:57) pada pecahan a/b, a disebut pembilang dan b disebut penyebut pecahan tersebut, yang masing-masing mempunyai nilai yang berbeda. Ruseffendi, E.T. dalam Muzuria (2004: 9)
a) Materi Pecahan di SD
Pecahan adalah bagian dari bilangan rasional yang dapat di tulis dalam bentuk dengan a dan b bilangan bulat dan b tidak sama dengan nol. Secara simbolik pecahan dapat dinyatakan sebagai salah satu : (1) pecahan biasa, (2) pecahan desimal,(3) pecahan persen, (4) pecahan campuran.
b) Mengenal Konsep Pecahan
Kegiatan mengenal konsep pecahan akan lebih berarti denga di dahului dengan soal cerita yang menggunakan obyek buah, misalnya apel, sawo, jeruk atau kue misal apem dll. Peraga selanjutnya berupa bangun datar seperti persegi, lingkaran yang nantinya akan sangat membantu dalam pemahaman konsep.
Pecahan dapat di peragakan dengan melipat kertas berbentuk lingkaran atau persegi sehingga lipatannya tepat menutupi bagian yang lainya. Selanjutnya bagian yang di lipat di buka dan di arsir sesuai bagian yang di kehendaki, sehingga di dapat gambar sebagai berikut :

Pecahan dibaca setengah atau satu per dua atau seperdua. “1” disebut pembilang yaitu merupakan daerah pengambilan. “2 “ disebut penyebut yaitu merupakan 2 bagian yanga sama dari keseluruhan.
Peragaan tersebut dapat dilanjutkan untuk pecahan dan sebagainya. Gambarnya sebagai berikut :

Gb.1 = gb.2 = gb.3 =
Selain mengenalkan pecahan dengan melipat kertas, peragaan dapat pula di lakukan denga pita atau tongkat yang di potong dengan pendekatan pengukuran panjang, yang dapat pula mengenalkan letak pecahan pada garis bilangan.
c). Pecahan Senilai
Pecahan senilai di sebut juga pecah yang ekivalen. Untuk menentukannya dapat di lakukan cara sebagai berikut :
Kita akan menunjukan bahwa dengan menggunakan 3 kertas persegi panjang. Ambil kertas dan dilipat menjadi 2 bagian yang sama sehingga di dapat . Kemudian ambil lagi kertas dilipat menjadi 2 bagian yang sama dan di lipat lagi menjadi 2 di dapat . Gambarnya sebagai berikut :
• kertas ke-1
di lipat menjadi 2 bagian yang sama besar
Daerah yang diarsir .
• kertas ke-2
Daerah yang di arsir , dari lipatan yang pertama dilipat lagi menjadi 2 bagian yang sama besar.

• kertas ke-3
yang di arsir .dari lipatan yang ke-2 di lipat lagi menjadi 2 bagian yang sama besar.
Dari gambar jelas bahwa .
Perlu pula di tunjukan pada siswa bahwa pecahan senilai dapat pula di manfaatkan untuk mempelajari :mengurutkan pecahan, penjumlahan dan pengurangan pecahan
d). Membandingkan dan Mengurutkan pecahan
Saat anak-anak belajar membandingkan dan mengurutkan pecahan mereka memerlukan pengalaman-pengalaman sehingga menghasilkan temuan-temuan khusus. Contohnya sebagai berikut :
Peragaan berikut menggunakan bangun geometri. Bangun geometri dapat di manfaatkan untuk membandingkan dan mengurutkan pecahan biasa dan pecahan campuran. Bahan yang digunakan harus mudah di warnai, di potong sehingga dapat jelas di amati.

Dari peragaan dapat di amati bahwa , dsb.
Tentukan tanda yang tepat ( <,>,= ) yang tepat untuk mengisi

Yang di arsir yang di arsir
Yang utuh sudah sama sehingga tinggal membandingkan yang tidak utuh. Dari gambar terlihat bahwa sehingga
d) Mengubah bentuk pecahan satu ke bentuk pecahan yang lain.
• Mengubah pecahan biasa ke benuk desimal.
Untuk mengubah pecahan biasa ke bentuk pecahan desimal di cari dulu pecahan yang senilai yang penyebutnya berbasis sepuluh,seratus,seribu.
Contoh :
1. (dibaca nol koma lima)
2. (dibaca nol koma dua puluh lima )
• Mengubah pecahan biasa menjadi persen atau sebaliknya
Persen artinya perseratus, sehingga pecahan yang penyebutnya seratus dapat diartikan persen.persen di lambangkan dengan %. Sehingga apabila penyebutnya belum perseratus di ubah dulu ke dalam bentuk perseratus.
Contoh :

Sebaliknya untuk mengubah pecahan dari bentuk persen menjadi bentuk biasa, dapat di ubah dari bentuk persen ke bentuk perseratus yang kemudian di sederhanakan.
Contoh :

Catatan : apabila siswa sudah mengenal FPB dapat diterpkan penggunaanya untuk menyederhanakan pecahan.
• Mengubah pecahan sederhana menjadi pecahan campuran atau sebaliknya.
• Mengubah pecahan biasa ( yang pembilangnya lebih dari penyebutnya) menjadi pecahan campuran dalakukan dengan cara peragaan dan hasil pembagian sehingga didapat hasil bagi dan sisa.
Contoh :
Ubahlah pecahan ke dalam pecahan campuran.
Jawab.
Dengan peraga

Dengan hasil bagi
(14 : 5 di dapat 2 sisa 4, sehingga )
Secara umum dapat di tulis dengan a > b.
e) menjumlahkan pecahan
• penjumlahan pecahan dengan penyebut sama
• penjumlahan pecahan dengan penyebut yang tidak sama
penjumlahan dapat di lakukan dengan menyamakan terlebih terdahulu penyebutnya, kemudian pembilang di kalikan dengan nilai yang di gunakan untuk menyamakan penyebut
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian Tindakan Kelas dengan model Kemmis dan Taggart merupakan model yang tidak terlalu sulit untuk digunakan. Model ini terdiri atas empat komponen, yaitu: pertama, sebelum melaksanakan tindakan, terlebih dahulu peneliti merencanakan secara seksama jenis tindakan yang akan dilakukan. Kedua, setelah rencana disusun secara matang, barulah tindakan itu dilakukan. Ketiga, bersamaan dengan dilaksanakan tindakan, peneliti mengamati proses pelaksanaan tindakan itu sendiri dan akibat yang ditimbulkannya. Keempat, berdasarkan hasil pengamatan tersebut, peneliti kemudian melakukan refleksi atas tindakan yang telah dilakukan. Jika hasil refleksi menunjukkan perlunya dilakukan perbaikan atas tindakan yang telah dilakukan, maka rencana tindakan perlu disempurnakan lagi agar tindakan yang dilaksanakan berikutnya tidak sekedar mengulang apa yang telah diperbuat sebelumnya. Demikian seterusnya sampai masalah yang diteliti dapat mengalami kemajuan.
Rancangan penelitian yang akan dilakukan menganut model Kemmis dan McTaggart (Arikunto 2002:84) pelaksanaan penelitian tindakan kelas dalam dua siklus dapat digambarkan dengan mengikuti alur sebagai berikut:









Keterangan
P: Perencanaan
T: Tindakan
O: Observasi
R: Refleksi

Secara rinci prosedur pelaksanaan rancangan penelitian tindakan kelas untuk setiap siklus dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Perencanaan
Pada tahap perencanaan, peneliti merencanakan kegiatan yang akan dilakukan pada Penelitian Tindakan Kelas (PTK), adapun kegiatan yang akan dilakukan dalam perencanaan adalah sebagai berikut :
Membuat rencana pelaksanaan pembelajaran
Membuat alat evaluasi
Membuat lembar observasi
2. Pelaksanaan Tindakan
Pada tahap pelaksanaan tindakan kegiatan yang dilaksanakan adalah melakukan skenario pembelajaran yang telah direncanakan, yang bertindak sebagai guru dalam penelitian ini adalah peneliti sedangkan yang bertindak sebagai observator adalah guru matematika kelas IV. pelaksanaan penelitian tindakan kelas dilaksanakan dalam tiga siklus. Setiap siklus dilaksanakan dalam 2 pertemuan kemudian pertemuan terakhir pada masing – masing siklus diberikan tes hasil belajar. Waktu pertemuan 2 jam pelajaran 70 menit.
3. Observasi
Pada observasi, penelitian sebagai guru pengajar melakukan tindakan yaitu pembelajaran Pengenalan pecahan sedangkan untuk mengobservasi tindakan yang sedang dilakukan oleh teman guru dan aktivitas siswa di dalam kelas dilakukan oleh guru matematika. Dengan menggunakan lembar observasi untuk mengobservasi hasil belajar siswa dengan menggunakan tes.kemudian melakukan analisis dokumen yang berupa hasil tes belajar yang diberikan kepada siswa pada setiap putaran catatan lapangan digunakan untuk menganalisis tindakan selama pembelajaran berlangsung. Sedangkan analisis dokumen digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa dari tes yang diberikan untuk setiap putaran.
4. Refleksi
Pada tahap refleksi, peneliti dan guru mendiskusikan hasil tindakan yang telah dilaksanakan, kemudian bila perlu merevisi tindakan sebelumnya untuk dilaksanakan pada tahap berikutnya.

B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) akan dilaksanakan dalam semester II tahun pembelajaran 2010/2011 di SDN. No. 011 Samarinda Utara.
C. Subjek dan Objek
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IV semester II SDN. No. 011 Samarinda Utara yang berjumlah 32 siswa.
Objeknya adalah penggunaan Pendekatan RME (Realistic Mathematics Education) pada materi pembelajaran pengenalan pecahan
D. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka pengumpulan data di peroleh melalui :
1. Observasi dilakukan pada tahap perencanaan dan selama kegiatan pembelajaran setiap siklus.
2. Tes dilaksanakan pada setiap siklus untuk melihat kemampuan pemecahan masalah siswa pada materi yang telah di ajarkan.
3. Dokumentasi nilai yakni data nilai tes yang diberikan pada awal pembelajaran digunakan sebagai perbandingan dengan tes hasil belajar pada akhir siklus I.
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan secara deskreptif yaitu hanya mengumpulkan data yang diperoleh melalui observasi dan tes hasil belajar di susun, dijelaskan, dan akhimya di analisis dalam tiga tahapan yaitu:
1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan suatu proses pemilihan, pemusatan dan perbaikan pada penyederhanaan data. Pada tahap reduksi data observasi pengamatan terhadap proses pembelajaran operasi hitung bilangan bulat.
2. Pengajian Data
Data yang diperoleh melalui observasi dan tes hasil belajar berbentuk table dan kalimat sederhana setiap putaran. Sedangkan analisis data kuantitatif menggunakan rata-rata, prosentase dan diagram
a. Rata – rata
Rata – rata digunakan untuk mengetahui peningkatn hasil belajar siswa dengan menggunakn rata – rata skor hasil belajar masing – masing siklus. Adapun rumus mencari rata – rata adalah sebagai berikut.
(Sudjana 2005)
Keterangan :
: Nilai rata –rata hasil belajar siswa pada setiap siklus
: Jumlah nilai seluruh siswa
n : Banyaknya siswa
Untuk mengetahui hasil belajar siswa dapat dilakukan dengan menganalisis data berupa nilai tugas dan nilai tes pada setiap siklus (tes formatif) menggunakan rumus, nilai rata – rata tugsa setiap siklus dijumlahkan dengan dua kali nilai rata – rata tes hasil belajar (nilai tes formatif)
NA =
Keterangan :
Na = Nilai Akhir Setiap Siklus (Depdiknas, 2005 : 29)
NT = Nilai Tugas
NH = Nilai Test Akhir Siklus
Modifikasi Depdiknas 2005 : 29
b. Presentase
Menentukan tingkat kemampuan siswa secara menyeluruh dengan menggunakan rumus.
M = ( Purwanto 2004 )
Keterangan :
M = Besarnya rata – rata dalam persen
x = Jumlah siswa yang termasuk kategori mampu
N = Jumlah siswa secara keseluruhan
c. Diagram
Diagram digunakan untuk menggambarkan peningkatan hasil belajar siswa dalam materi pembelajaran matematika pada operasi hitung bilangan bulat.
3. Kesimpulan
Data yang telah di analisis kemudian dibuat suatu kesimpulan.
G. Indikator Peningkatan
Peningkatan nilai rata – rata akhir setiap siklus dari nilai rata–rata siklus sebelumnya setelah diterapkan penggunaan metode demonstrasi dapat dilihat pada kriteria hasil belajar berikut ini.
Tabel. 2. Kriteria Hasil Belajar
Nilai Keterangan
85 < x  100 Baik Sekali
71 < x  84 Baik
56 < x  70 Cukup
41 < x  55 Kurang
< 40 Sangat Kurang
H. Indikator Keberhasilan
Indikator yang menyatakan bahwa pembelajaran ini dinyatakan berhasil yaitu jika pembelajaran yang dilaksanakan sudah berjalan dengan baik sesuai dengan skenario pembelajaran, hasil observasi dari pelaksanaan pembelajaran berkategori baik, dan rata-rata nilai akhir dari setiap siklusnya terjadi peningkatan sehingga persentase skor rata-rata siswa secara klasikal yang mencapai skor lebih dari atau sama dengan 60 adalah mencapai 85% hal ini sesuai dengan Standar Ketuntasan Minimum (SKM) SDN 011 Samarinda Utara






DAFTAR PUSTAKA

Dimyati dan Mujiono 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Dujana 2001. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung PT. Remaja Rosdakarya.

Djamarah dan Zain 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta.
Gatot Muhsetyo, dkk. 2007. Pembelajaran Matematika SD. Universitas Terbuka
Higgisn dan Suydam 1999. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jakarta : Rineka Cipta.

Nurhadi 2004. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosda Karya
Nur Aksin, 2008. Gemar Matematika : Jakarta. Intan Pariwara.
Purwanto . 2004. Psikologi Pendidikan . Bandung : Remaja Rosda Karya.
Soejadi 2000. Belajar dan Pembelajaran . Jakarta : Rineka Karya.
Sujana 2001. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung Remaja Rusda Karya.

Soedjadi, 2001. Pemanfaatan Realitas dan Lingkungan alam Pembelajan Matematika. (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional tentang Realistic Matematic Education Universitas Negeri Surabaya).

Sukayati, 2004. Contoh Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Widyaswara PPPG Matematika. Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar